Selamat Datang Di Blog Saya

Minggu, 22 April 2012

NAIK GUNUNG BERBAHAYA KALAU PUNYA SUMBATAN PEMBULUH DARAH


Jakarta, Sama seperti aktivitas fisik lainnya, mendaki gunung juga memiliki risiko bagi yang memiliki masalah pada jantung dan pembuluh darah. Kematian mendadak saat mendaki gunung paling sering terjadi jika ada sumbatan pada pembuluh darah.

"Penyumbatan pembuluh darah paling sering menjadi penyebab langsung kematian mendadak saat mendaki gunung," kata dr Phaidon L Toruan, MM, seorang pakar sekaligus praktisi hidup sehat saat dihubungidetikHealth, Minggu (22/4/2012).

Adanya penyumbatan pembuluh darah menurutnya bisa memicu berbagai kondisi serius yang berujung pada kematian, misalnya stroke atau serangan jantung. Karena tersumbat, pembuluh darah bisa pecah ketika terjadi peningkatan tekanan darah saat mendaki gunung atau melakukan aktivitas fisik lainnya.

Sayangnya penyumbatan pembuluh darah ini sulit sekali dideteksi, sebab 70 persen kasusnya tidak disertai dengan keluhan khusus. Sehari-hari, seseorang yang mengalami penyumbatan pembuluh darah bisa merasa baik-baik saja namun pada suatu saat kondisi ini bisa memicu dampak serius.

Banyak faktor yang bisa memicu penyumbatan pembuluh darah, salah satunya kolesterol jahat yang menumpuk lalu membentuk plak. Namun karena masih ada banyak faktor lain, dr Phaidon menganjurkan untuk tetap waspada meski hasil pemeriksaan lab menunjukkan kadar kolesterol normal.

Selain dengan diet yang seimbang, penyumbatan pembuluhd arah juga bisa dicegah dengan menjaga kebugaran tubuh melalui olahraga teratur. Olahraga tidak hanya mencegah penyumbatan, tetapi juga menjaga fungsi jantung agar tidak mudah kaget ketika dipakai untuk aktivitas fisik yang berat.

Gangguan paru-paru yang membuat penyerapan oksigen tidak maksimal menurut dr Phaidon malah jarang memicu kematian mendadak. Banyak juga kematian di gunung yang berawal dari kekurangan oksigen, namun sangat jarang yang secara langsung disebabkan oleh kondisi tersebut.

"Kalau hanya kekurangan oksigen sih biasanya tidak langsung meninggal. Paling-paling tubuhnya jadi lemas, tapi karena lemas itu maka bisa terjadi kecelakaan lain yang memicu kematian misalnya hilang keseimbangan lalu jatuh masuk ke jurang," jelas dr Phaidon.

Mengenai kondisi-kondisi yang tidak memungkinkan seseorang untuk melakukan pendakian gunung, dr Phaidon menilai masing-masing orang biasanya tahu kondisi kesehatan dan pantangannya. Asal tubuhnya bugar, penyerapan oksigen baik dan nutrisinya seimbang maka naik gunung biasanya tidak ada masalah.

ORANG DENGAN PENYAKIT INI TAK BOLEH NAIK GUNUNG


Jakarta, Aktivitas pendakian gunung butuh kesiapan fisik ekstra matang. Seseorang yang memiliki riwayat penyakit tertentu sangat tidak dianjurkan untuk mendaki gunung, sebab risikonya sangat serius mulai dari cedera hingga kematian mendadak.

"Ada beberapa faktor yang perlu diperhitungkan sebelum mendaki gunung. Pertama kondisi personel, seberapa berat medan yang dilalui, serta kondisi lingkungan yang meliputi cuaca, rekan sesama pendaki dan juga kelengkapan," kata Dr Michael Triangto, SpKO, spesialis kedokteran olahraga dari RS Mitra Kemayoran saat dihubungi detikHealth, Minggu (22/4/2012).

Terkait kondisi personel, orang-orang yang memiliki riwayat penyakit berikut ini tidak dianjurkan untuk mendaki gunung.

1. Gangguan jantung
Seperti halnya aktivitas fisik berintensitas berat lainnya, aktivitas mendaki gunung juga bisa meningkatkan kerja jantung. Risiko kematian mendadak akibat serangan jantung dipastikan akan meningkat apabila sejak awal seorang pendaki punya riwayatgangguan jantung.

2. Darah tinggi
Meski tidak memiliki gangguan jantung, seseorang dianjurkan agar menahan diri untuk tidak mendaki gunung jika punya riwayat hipertensi atau tekanan darah tinggi. Aktivitas fisik yang berat seperti pendakian gunung akan semakin meningkatkan tekanan darah dan dampaknya bisa sangat buruk bagi jantung dan pembuluh darah.

3. Gangguan paru-paru
Gangguan fungsi paru-paru baik karena sesak napas maupun sekedar flu bisa berbahaya jika dibawa naik gunung. Selain kadar udara di ketinggian memang tipis, menurunnya kemampuan paru-paru dalam menyerap oksigen membuat jantung harus bekerja lebih keras untuk mendistribusikan oksigen yang hanya sedikit.

4. Glaukoma
Meski tidak fatal, risiko kerusakan mata saat mendaki gunung juga perlu diwaspadai jika memiliki riwayat glaukoma atau meningkatnya tekanan bola mata meskipun kondisinya tidak terlalu parah. Saat mendaki medan terjal, seseorang cenderung mengejan sehingga tekanan rongga perut meningkat lalu diikuti juga oleh tekanan pada bola mata.

Kondisi ini seringkali tidak disadari, karena yang dirasakan biasanya hanya pusing-pusing di kepala. Padahal jika pendakian masih diteruskan, lama-kelamaan pandangan akan menjadi kabur dan bukan tidak mungkin akan memicu kerusakan yang lebih serius pada mata.

5. Diabetes
Pengidap diabetes sebenarnya tidak dilarang naik gunung, asal kondisinya terkontrol dalam arti rutin minum obat dan kadar gulanya sedang normal. Namun jika tidak terkontrol, maka risiko yang perlu diwaspadai saat naik gunung adalah kemungkinan lecet atau cedera yang lebih serius.

"Seperti yang kita tahu, lecet sekecil apapun pada pengidap diabetes bisa memicu komplikasi yang lebih serius. Dampaknya mungkin tidak dirasakan saat itu juga, tetapi setelah turun dari gunung harus segera mendapat perawatan," kata dr Michael.

TANDA-TANDA TUBUH KURANG OKSIGEN SAAT NAIK GUNUNG


Jakarta, Berada di ketinggian dengan oksigen yang sedikit bisa memicu kondisi hipoksia, yakni ketika tubuh kekurangan pasokan oksigen. Para pendaki gunung harus mengenali tanda-tandanya, serta cara mengatasi jika mengalami kondisi tersebut.

"Tanda-tanda hipoksia atau kekurangan oksigen antara lain pandangan kabur, pernapasan makin cepat atau tersengal-sengal, serta tubuh menjadi lemas," kata Dr Michael Triangto, SpKO dari RS Mitra Kemayoran saat dihubungi detikHealth, Minggu (22/4/2012).

Frekuensi pernapasan yang meningkat terjadi karena tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen. Tidak hanya memaksa paru-paru bekerja lebih keras, kondisi ini juga mempengaruhi jantung yang harus bekerja keras memompa oksigen dalam darah yang hanya sedikit itu untuk didistribusikan ke seluruh tubuh.

Selain dari gejala fisik, kondisi hipoksia juga bisa dikenali dari perubahan perilaku. Dalam kondisi hipoksia, otak juga akan kekurangan oksigen sehingga pola pikir seorang pendaki berubah menjadi kacau dan sulit membuat keputusan yang tepat.

"Dalam keadaan hipoksia, yang dominan hanya emosi dan ini sangat mempengaruhi pengambilan keputusan. Makanya para pendaki sering tersesat, salah satunya karena otak tidak mendapatkan oksigen yang cukup untuk bisa bekerja dengna baik," tutur Dr Michael.

Pertolongan pertama ketika menghadapi kondisi ini tentu saja dengan memberikan oksigen. Tabung oksigen berukuran kecil yang bisa dibawa ke mana-mana sangat mudah diperoleh di apotek dengan harga terjangkau, sehingga tidak ada salahnya para pendaki melengkapi diri dengan alat ini.

Jika tabung oksigen belum cukup menolong, maka semua pakaian harus dilonggarkan agar pernapasan menjadi lebih lancar. Kerah baju harus dibuka, ikat pinggang dilepas dan juga bra pada perempuan mau tidak mau harus dilepas supaya saluran napasnya tidak sesak.

Namun yang terpenting dari semua itu adalah, sesegera mungkin pendaki yang mengalami hipoksia harus dibawa ke lokasi yang lebih rendah supaya mendapat oksigen lebih banyak dari udara pernapasan. Makin lama berada dalam kondisi hipoksia, makin besar risiko kerusakan organ karena tidak mendapat suplai oksigen.

Daya tahan seseorang saat berada dalam kondisi hipoksia sangat beragam, salah satunya dipengaruhi oleh kadar sel darah merah serta hemoglobin. Orang-orang yang sehari-hari tinggal di gunung secara alamiah lebih tahan terhadap hipoksia karena sel darah merahnya lebih banyak.